Senin, 16 April 2012

teori disiplin mental


A.    Hakikat Teori Belajar Disiplin Mental
Teori belajar disiplin mental lebih menekankan pada keterlibatan psikis, sedangkan fisik tidak terlalu berpengaruh. Dalam teori ini, belajar diartikan sebagai pengembangan dari kekuatan, kemampuan, dan potensi-potensi yang dimiliki setiap individu. Teori ini menganggap bahwa secara psikologi individu memiliki kekuatan, kemampuan atau potensi-potensi tertentu. Belajar adalah pengembangan dari kekuatan, kemampuan dan potensi-potensi tersebut.
Teori belajar disiplin mental merupakan salah satu pandangan yang mula-mula memberikan definisi tentang belajar yang disusun oleh filsuf Yunani bernama Plato. Pandangan filsafatnya yaitu tentang idealisme yang melukiskan pikiran dan jiwa yang bersifat dasar bagi segala sesuatu yang ada. Idealisme hanyalah ide murni yang ada di dalam pikiran, karena pengetahuan orang berasal dari ide yang ada sejak kelahirannya. Belajar dilukiskan sebagai pengembangan olah pikiran yang bersifat keturunan. Kepercayaa ini kemudian dikenal sebagai konsep “disiplin mental”.
Penganut belajar disiplin mental Jean Jacgues Rousseau yang menggangap anak memiliki potensi-potensi yang masih terpendam. Melalui belajar, anak harus diberi kesempatan mengembangkan atau mengaktualkan potensi-potensi tersebut. Sesungguhnya anak memiliki kekuatan sendiri untuk mencari, mencoba, menemukan dan mengembangkan dirinya sendiri.
Teori belajar disiplin mental menekankan pada latihan mental yang diberikan dalam bentuk studi. Disiplin mental juga dikenal dengan ungkapan disiplin formal. Gagasan utama disiplin mental adalah pada otak
 atau pikiran yang dianggap sebagai benda nonfisik terbaring tidak aktif  hingga ia dilatih. Kecakapan pikiran atau otak seperti ingatan, kemauan, akal budi, dan ketekunan merupakan “otot-ototnya” pikiran atau otak tadi.  Otak dipersepsikan seperti otot-otot fisiologis yang bisa kuat jika dilatih secara bertahap dan terus menerus serta dengan porsi yang memadai, maka otot-otot pikiran atau otak pun demikian halnya. Otak manusia  bisa kuat dalam arti lebih tinggi kemampuannya jika dilatih secara bertahap dan memadai.
  Apabila belajar ditinjau dari teori belajar disiplin mental maka belajar lebih ditekankan pada masalah penguatan atau pendisiplinan kecakapan berpikir otak yang pada akhirnya menghasilkan perilaku kecerdasan. Contohnya, dalam konteks komunikasi, kecakapan berkomunikasi seseorang pun bisa dilatih sejak dini supaya berhasil dengan baik. Tampaknya memang benar bahwa ahli-ahli komunikasi praktis seperti ahli pidato, ahli kampanye, ahli seminar, dan sebagainya. Semuanya merupakan hasil dari proses latihan. Latihan dalam hal keahlian ini identik dengan pengalaman. Semakin lama pengalaman seseorang di bidangnya maka semakin ahli orang yang bersangkutan.
Menurut teori belajar disiplin mental, orang dianggap sebagai paduan dari dua jenis zat dasar atau dua jenis realitas, yaitu pikiran rasional dan organisme biologis. Dengan begitu, maka konsep animal rasional digunakan untuk mengenali manusia, sedangkan yang didisiplinkan atau dilatih melalui pendidikan adalah pikiran.
Menurut konsep ini pada dasarnya manusia terbentuk dari dua zat yakni mental dan fisik secara berpadu. Bagaimana pun juga, pikiran dan badan atau zat rohaniah dan zat badaniah tidak mempunyai karakteristik umum (yang sama). Pemikiran akan konsep pikiran atau rohani sampai sekarang masih berlangsung, baik yang datangnya dari orang-orang primitif (yang mengatakan bahwa nyawa berpindah ketika sedang bermimpi) maupun konsep orang-orang sekarang yang lebih kompleks. Dalam hal ini orang melihat belajar sebagai proses perkembangan akibat dari adanya pelatihan pikiran atau otak. Dengan demikian maka belajar menjadi suatu proses yang terjadi di dalam di mana berbagai kekuatan seperti imajinasi, memori, kemauan, dan pikiran diolah. Dan dari sana pendidikan pada umumnya dan belajar pada khususnya menjadi suatu proses disiplin mental.
Teori belajar disiplin mental setidaknya mempunyai dua versi pokok, yakni humanisme klasik dan psikologi kecakapan (faculty psychology). Masing-masing merupakan hasil dari perkembangan tradisi budaya yang berbeda. Humanisme klasik berasal dari Yunani Kuno. Humanisme klasik mempunyai dasar asumsi asumsi bahwa otak manusia merupakan satu pusat atau sentral yang aktif dalam berhubungan dengan lingkungannya dan secara moral ia netral saat lahir. Humanisme adalah suatu pandangan dan jalan hidup yang berpusat pada kepentingan dan nilai-nilai manusia. Humanisme klasik itu hanya satu dari bentuk-bentuknya yang ada.
Bentuk yang berlainan dari humanisme klasik adalah humanisme psikedelik (psychedelic humanism) dan humanisme saintifik (scientific humanism). Humanisme psikedelik menekankan kepada sifat-sifat keotonomian dan sifat-sifat aktif manusia dengan ciri “manusia melakukan dirinya sendiri”. Jenis humanisme ini meliputi psikologi belajar aktualisasi diri yang memandang manusia sebagai individu yang baik dan aktif di dalam dirinya. Penekanan dalam belajarnya adalah pada pelatihan kekuatan mental secara internal. Jika seseorang ingin memiliki kecakapan atau keahlian di bidang tertentu, maka ia harus secara internal dan intensif melatih dirinya di bidang tersebut hingga mampu menguasainya.
Humanisme saintifik lebih menekankan kepada peningkatan kemampuan dengan jalan menerapkan proses pemecahan masalah secara ilmiah. Jenis humanisme ini sesuai juga dengan psikologi bidang Gestalt. Dengan berlatih menyelesaikan atau memecahkan masalah-masalah sosial, ujian, atau bidang permasalahan apapun, maka seseorang akan sampai kepada penguasaan atas permasalahannya tadi. Permasalahan yang lain pun pada akhirnya akan dapat dengan mudah diselesaikan.
Otak atau pikiran manusia dianggap sedemikian rupa sehingga dengan pengolahan yang memadai, otak dapat mengetahui dunia seperti pada kenyataannya. Manusia mempunyai kebebasan memilih dalam keterbatasan bertindak dilihat dari segi apa yang dipahaminya. Sebagai makhluk yang tidak hanya memiliki instink saja, orang lebih suka berusaha memahami sesuatu yang kompleks dan sulit-sulit, karena mempunyai dasar akal budi. Orang mampu berpikir rasa dan berpikir rasional. orang bertindak karena mereka paham akan apa yang dilakukannya. Dengan kata lain mereka menyadari akan perbuatannya atau setidaknya mereka tahu dan berkeinginan untuk melakukan apa yang dikehendakinya.
Di dalam kerangka rujukan humanisme klasik, pengetahuan dianggap sebagai ciri bangun prinsip kebenaran yang pasti atau tetap, yang diteruskan sebagai warisan budaya atau sukunya. Prinsip prinsip ini telah ditemukan oleh para pemikir besar sepanjang sejarah manusia yang kemudian disusun ke dalam buku-buku besar. Menurut teori ini, kurikulum sekolah itu berdasar pada falsafah dan buku-buku klasik. Dan dalam hal ini, mempelajari buku-buku besar menjadi sesuatu yang penting. Contohnya, di lembaga-lembaga pendidikan tradisional kita yang lebih menekankan kepada mempelajari buku-buku besar karangan para ahli di jaman lampau. Di lembaga-lembaga pesantren di Indonesia, sampai sekarang banyak yang mendasarkan diri pada buku atau kitab-kitab “kuning” sebagai bahan kajiannya.
Christian Wolff (1679-1754) seorang ahli filsafat Jerman, berpendapat bahwa pikiran atau otak manusia mempunyai kecakapan yang jelas dan berbeda-beda. Pada saat tertentu pikiran berada pada satu kegiatan khusus dan pada saat lain terkadang sebagai bagian dari satu aspek dari kegiatan tertentu lain. Menurut Wolff, kecakapan dasar yang umum adalah pengetahuan, perasaan, ingatan, dan akal budi inti. Sedangkan kecakapan akal budi meliputi kemampuan menggambarkan perbedaan-perbedaan dan menafsirkan atau menilai bentuk. Kecakapan kemauan dipercaya sebagai hasil perkembangan ide atau gagasan pikiran bahwa sifat manusia bisa dijelaskan melalui melihat dari segi prinsip ketidakbaikan.
Sebenarnya disiplin mental telah ada sejak jaman kuno, dan pengaruhnya masih tampak dalam kegiatan komunikasi praktis, seperti di lingkungan pendidikan atau sekolahan, di lembaga lembaga non pendidikan, dan bahkan di organisasi-organisasi kemasyarakatan sampai sekarang. Manusia mempunyai kelebihan dengan adanya kemampuan berpikir dan berakal budi, hal ini yang menyebabkan perkembangan yang berbeda. Sejak dahulu, semua binatang hanya mengandalkan instinknya saja dalam bergerak. Mereka tidak pernah ingin merubah kondisi kehidupannya untuk ditingkatkan sesuai dengan tuntutan jaman. Sedangkan pada manusia, karena mempunyai nafsu dan kemauan yang dibarengi dengan kemampuan akalnya, maka dunia dikuasainya untuk dibentuk sesuai dengan seleranya.
Semua perubahan-perubahan itu terjadi karena manusia selalu mengalami belajar, mengalami perubahan perilaku ke arah yang lebih berkualitas dalam rangka meningkatkan kemampuannya terutama kemampuan akal dan budinya. Kita bisa mengembangkan konsep ini secara aplikatif.  Disiplin mental yang sebenarnya disebut juga dengan disiplin formal yang selalu tampak dalam hampir semua aspek pembelajaran manusia. Artinya, ketika manusia melakukan belajar, ia selalu mengalami pelatihan secara displin, baik internal maupun eksternal. Contohnya, olahragawan terkemuka biasanya hasil latihan yang disiplin ilmuwan terkemuka juga merupakan hasil kerja keras belajar secara disiplin. Tidak ada orang yang tiba-tiba menjadi ahli dalam bidang tertentu.

B.     Penerapan Teori Belajar Disiplin Mental dalam Pembelajaran
Teori belajar disiplin mental menjadi dasar untuk disusunnya strategi dan model pembelajaran untuk diterapkan bagi siswa. Model pembelajaran yang dimaksud adalah suatu perencanaan atau suatu pola yang menggunakan pembelajaran di kelas atau pembelajaran dalam tutorial serta untuk menentukan perangkat-perangkat pembelajaran.
Dalam kalangan anak-anak, baik di lingkungan keluarga ataupun di sekolah, hampir semua aspek pembelajaran bisa dilakukan dengan cara disiplin, seperti pembiasaan secara tetap akan suatu pekerjaan, latihan tetap terhadap suatu keterampilan, disiplin diri dalam bertindak, displin mengendalikan diri, bekerja keras dengan disiplin tetap, serta adanya arahan-arahan motivasi dari pihak lain. Semua itu jika dilakukan akan menghasilkan manusia yang memiliki kemampuan unggul di bidang yang dikerjakannya atau dilatihnya secara disiplin tadi. Pada asalnya disiplin dilakukan oleh adanya aturan-aturan eksternal, namun secara tidak langsung jika hal itu dilakukan secara terus menerus dalam waktu yang lama akan menghasilkan perilaku disiplin internal.
Suatu pekerjaan jika dikerjakan secara terus  menerus dengan frekuensi yang relatif tetap akan menjadikannya seseorang menjadi terbiasa dengan pekerjaannya itu.  Disiplin juga tidak hanya untuk hal-hal yang bersifat praktis, namun juga dapat bersifat mental. Sebagai contohnya, dengan telah melakukan ‘hafalan’ secara disiplin terhadap perkalian angka 1 x 1 sampai dengan perkalian 10 x 10, maka kita sekarang tidak perlu berpikir lagi jika ditanya 6 x 7, 8 x 9, atau 7 x 7. Kita bisa langsung menjawab hasilnya dengan benar. Itu semua akibat dari hasil belajar melalui pola disiplin mental ketika kita di SD dulu. Disiplin mental dikenal juga dengan disiplin formal.
Teori belajar disiplin mental relevan apabila diterapkan dalam sistem pembelajaran, karena kriteria belajar bagi siswa adalah adanya perubahan perilaku pada diri individu, perubahan perilaku yang terjadi hasil dari pengalaman, dan perubahan tersebut relatif menetap. Berdasarkan kriteria tersebut tentu saja teori belajar disiplin mental dapat diterapkan sebagai media untuk menambah pengetahuan untuk perubahan perilaku individu secara menetap dan berdasarkan hasil pengalaman dalam proses belajar mengajar.
Penerapan secara nyata dalam proses belajar mengajar yang berhubungan dengan disiplin mental dalam setiap mata pelajaran di SD sebagai berikut:
1.      Pembelajaran Sejarah
Guru dapat menggunakan gambar dan media lain dengan memberikan materi tentang dasar-dasar ilmu sejarah, fakta, peristiwa dan proses sejarah. Siswa diakhir pembelajaran diminta untuk menerangkan kembali tentang pembelajan tersebut agar lebih memperdalam materi pembelajaran bagi siswa lainnya.
2.      Pembelajaran Geografi
Guru dapat menggunakan peta dan diskusi tentang materi sistem informasi geografi, interaksi gejala fisik dan sosial, struktur internal suatu tempat, interaksi keruangan, persepsi lingkungan, dan kewilayahan. Guru dapat memberikan tugas dengan mempelajari materi lain untuk memperdalam materi.
3.      Pembelajaran PKn
Guru dapat menggunakan strategi belajar kelompok, untuk membahas tentang persatuan bangsa, nilai dan norma, hak asasi manusia, kebutuhan hidup, kekuasaan dan politik, masyarakat demokratis, Pancasila dan konstitusi negara serta globalisasi. Guru kemudian dapat bertanya jawab kepada siswa untuk memperdalam materi.
Teori belajar disiplin mental juga dapat dilaksanakan dengan menggunakan pembelajaran dengan strategi ekspositori. Model pengajaran ekspositori merupakan kegiatan yang terpusat pada guru. Guru aktif memberikan penjelasan atau informasi terperinci tentang bahan pengajaran. Tujuan utama pengajaran ekspositori adalah memindahkan pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai kepada siswa. Hal yang esensial pada bahan pengajaran harus dijelaskan kepada siswa.
Guru juga dapat menggunakan strategi evaluasi dengan sistem menanyakan terus menerus pembelajaran yang dikuasai siswa secara lisan, sehingga guru dapat mengukur seberapa jauh siswa menguasai pembelajaran yang diberikan. Aplikasi pembelajaran dengan teori belajar disiplin mental memang mengedepankan aspek penguasaan materi dan keterampilan berdasarkan pada pengasahan otak dan penambahan materi  pembelajaran kepada siswa.
Teori belajar disiplin mental dalam pembelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial sesungguhnya banyak sekali sistem penerapannya. Fokus dari disiplin mental adalah memberikan peningkatan pengetahuan setiap waktu agar semakin lama siswa semakin memahami tentang materi pembelajaran. Peningkatan pengetahuan yang dilaksanakan secara bertahap penting dilaksanakan dalam teori belajar disiplin mental. Tambahan pemahaman dan materi tersebut merupakan indikasi keberhasilan dari teori belajar disiplin mental.

C.    Implementasi Teori Belajar Disiplin Mental
Teori belajar disiplin mental apabila diimplementasikan dampak positifnya menjadikan siswa semakin hari semakin meningkat kemampuannya dalam menguasai materi dan keterampilan. Siswa menjadi disiplin untuk mempelajari materi pembelajaran setahap demi setahap, dan semakin lama akan semakin banyak. Dampak negatif dari penerapan disiplin mental apabila dilaksanakan secara dominan dan tidak memperhatikan faktor-faktor psikologi akan menjadi siswa menjadi tegang dan proses belajar mengajar tidak bervariatif. Segi kognitif siswa yang kadang-kadang tidak cocok dengan metode pembelajaran berbasis disiplin mental menjadi terbebani dengan pembelajaran tersebut.
Guru dapat mengembangkan potensi siswa yaitu dengan cara :
1.      Guru harus kreatif (potensi siswa diasah dan dilatih), hal ini ada dalam teori daya (teori yang masih serumpun dengan teori belajar disiplin mental).
2.      Yakin bahwa semua individu memiliki potensi, bakat, dan lain-lain (teori netivisme).
3.      Jika guru tidak mampu mengembangkan potensi siswa yang khusus, maka guru harus mendekati potensi siswa yang umum.
Contohnya, guru harus memberikan rasa aman kepada siswanya, dalam artian guru tidak boleh mempermalukan siswanya di depan kelak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar