A.
Hakikat Teori Belajar
Disiplin Mental
Teori belajar disiplin mental lebih menekankan pada keterlibatan
psikis, sedangkan fisik tidak terlalu berpengaruh. Dalam teori ini, belajar
diartikan sebagai pengembangan dari kekuatan, kemampuan, dan potensi-potensi
yang dimiliki setiap individu. Teori ini menganggap bahwa secara psikologi
individu memiliki kekuatan, kemampuan atau potensi-potensi tertentu. Belajar
adalah pengembangan dari kekuatan, kemampuan dan potensi-potensi tersebut.
Teori belajar disiplin mental merupakan salah satu pandangan yang
mula-mula memberikan definisi tentang belajar yang disusun oleh filsuf Yunani
bernama Plato. Pandangan filsafatnya yaitu tentang idealisme yang melukiskan
pikiran dan jiwa yang bersifat dasar bagi segala sesuatu yang ada. Idealisme
hanyalah ide murni yang ada di dalam pikiran, karena pengetahuan orang berasal dari ide
yang ada sejak kelahirannya. Belajar dilukiskan sebagai pengembangan olah pikiran yang bersifat
keturunan. Kepercayaa ini kemudian dikenal sebagai konsep “disiplin mental”.
Penganut belajar disiplin mental Jean Jacgues Rousseau yang
menggangap anak memiliki potensi-potensi yang masih terpendam. Melalui belajar, anak harus diberi kesempatan mengembangkan atau
mengaktualkan potensi-potensi tersebut. Sesungguhnya anak memiliki kekuatan sendiri untuk
mencari, mencoba, menemukan dan mengembangkan dirinya sendiri.
Teori belajar disiplin mental menekankan pada latihan mental yang diberikan dalam
bentuk studi. Disiplin mental juga dikenal dengan ungkapan disiplin formal.
Gagasan utama disiplin mental adalah pada otak
atau pikiran yang dianggap sebagai benda
nonfisik terbaring tidak aktif hingga ia dilatih. Kecakapan pikiran atau
otak seperti ingatan, kemauan, akal budi, dan ketekunan merupakan
“otot-ototnya” pikiran atau otak tadi. Otak dipersepsikan seperti otot-otot fisiologis yang bisa kuat jika
dilatih secara bertahap dan terus menerus serta dengan porsi yang memadai, maka
otot-otot pikiran atau otak pun demikian halnya. Otak manusia bisa kuat
dalam arti lebih tinggi kemampuannya jika dilatih secara bertahap dan memadai.
Apabila belajar ditinjau dari teori belajar disiplin mental maka belajar lebih ditekankan pada masalah
penguatan atau pendisiplinan kecakapan berpikir otak yang pada akhirnya
menghasilkan perilaku kecerdasan. Contohnya, dalam konteks komunikasi,
kecakapan berkomunikasi seseorang pun bisa dilatih sejak dini supaya berhasil
dengan baik. Tampaknya memang benar bahwa ahli-ahli komunikasi praktis seperti
ahli pidato, ahli kampanye, ahli seminar, dan sebagainya. Semuanya merupakan hasil dari proses
latihan. Latihan dalam hal keahlian ini identik dengan pengalaman. Semakin lama
pengalaman seseorang di bidangnya maka semakin ahli orang yang bersangkutan.
Menurut teori belajar disiplin mental, orang dianggap sebagai paduan dari dua jenis zat
dasar atau dua jenis realitas, yaitu pikiran rasional dan organisme biologis.
Dengan begitu, maka konsep animal rasional digunakan
untuk mengenali manusia, sedangkan yang didisiplinkan atau dilatih melalui pendidikan adalah
pikiran.
Menurut konsep ini pada dasarnya manusia terbentuk dari dua zat
yakni mental dan fisik secara berpadu. Bagaimana pun juga, pikiran dan badan
atau zat rohaniah dan zat badaniah tidak mempunyai karakteristik umum (yang
sama). Pemikiran akan konsep pikiran atau rohani sampai sekarang masih
berlangsung, baik yang datangnya dari orang-orang primitif (yang mengatakan
bahwa nyawa berpindah ketika sedang bermimpi) maupun konsep orang-orang
sekarang yang lebih kompleks. Dalam hal ini orang melihat belajar sebagai
proses perkembangan akibat dari adanya pelatihan pikiran atau otak. Dengan
demikian maka belajar menjadi suatu proses yang terjadi di dalam di mana
berbagai kekuatan seperti imajinasi, memori, kemauan, dan pikiran diolah. Dan
dari sana pendidikan pada umumnya dan belajar pada khususnya menjadi suatu
proses disiplin mental.
Teori belajar disiplin mental setidaknya mempunyai dua versi pokok, yakni humanisme
klasik dan psikologi
kecakapan (faculty psychology). Masing-masing
merupakan hasil dari perkembangan tradisi budaya yang berbeda. Humanisme klasik
berasal dari Yunani Kuno. Humanisme klasik mempunyai dasar asumsi asumsi bahwa otak manusia merupakan
satu pusat atau sentral yang aktif dalam berhubungan dengan lingkungannya dan
secara moral ia netral saat lahir. Humanisme adalah suatu pandangan dan jalan
hidup yang berpusat pada kepentingan dan nilai-nilai manusia. Humanisme klasik
itu hanya satu dari bentuk-bentuknya yang ada.
Bentuk yang berlainan dari humanisme klasik adalah humanisme
psikedelik (psychedelic humanism) dan humanisme saintifik (scientific
humanism). Humanisme psikedelik menekankan kepada sifat-sifat
keotonomian dan sifat-sifat aktif manusia dengan ciri “manusia melakukan
dirinya sendiri”. Jenis humanisme ini meliputi psikologi belajar aktualisasi
diri yang memandang manusia sebagai individu yang baik dan aktif di dalam
dirinya. Penekanan dalam belajarnya adalah pada pelatihan kekuatan mental
secara internal. Jika seseorang ingin memiliki kecakapan atau keahlian di
bidang tertentu, maka ia harus secara internal dan intensif melatih dirinya di
bidang tersebut hingga mampu menguasainya.
Humanisme saintifik lebih menekankan kepada peningkatan kemampuan dengan jalan
menerapkan proses pemecahan masalah secara ilmiah. Jenis humanisme ini sesuai
juga dengan psikologi bidang Gestalt. Dengan berlatih menyelesaikan atau
memecahkan masalah-masalah sosial, ujian, atau bidang permasalahan apapun, maka
seseorang akan sampai kepada penguasaan atas permasalahannya tadi. Permasalahan
yang lain pun pada akhirnya akan dapat dengan mudah diselesaikan.
Otak atau pikiran manusia dianggap sedemikian rupa sehingga dengan
pengolahan yang memadai, otak dapat mengetahui dunia seperti pada kenyataannya.
Manusia mempunyai kebebasan memilih dalam keterbatasan bertindak dilihat dari
segi apa yang dipahaminya. Sebagai makhluk yang tidak hanya memiliki instink
saja, orang lebih suka berusaha memahami sesuatu yang kompleks dan sulit-sulit,
karena mempunyai dasar akal budi. Orang mampu berpikir rasa dan berpikir
rasional. orang bertindak karena mereka paham akan apa yang dilakukannya.
Dengan kata lain mereka menyadari akan perbuatannya atau setidaknya mereka tahu
dan berkeinginan untuk melakukan apa yang dikehendakinya.
Di dalam kerangka rujukan humanisme klasik, pengetahuan dianggap
sebagai ciri bangun prinsip kebenaran yang pasti atau tetap, yang diteruskan sebagai
warisan budaya atau sukunya. Prinsip prinsip ini telah ditemukan oleh para
pemikir besar sepanjang sejarah manusia yang kemudian disusun ke dalam
buku-buku besar. Menurut teori ini, kurikulum sekolah itu berdasar pada
falsafah dan buku-buku klasik. Dan dalam hal ini, mempelajari buku-buku besar
menjadi sesuatu yang penting. Contohnya, di lembaga-lembaga pendidikan tradisional kita
yang lebih menekankan kepada mempelajari buku-buku besar karangan para ahli di
jaman lampau. Di lembaga-lembaga pesantren di Indonesia, sampai sekarang banyak
yang mendasarkan diri pada buku atau kitab-kitab “kuning” sebagai bahan
kajiannya.
Christian Wolff (1679-1754) seorang ahli filsafat Jerman,
berpendapat bahwa pikiran atau otak manusia mempunyai kecakapan yang jelas dan
berbeda-beda. Pada saat tertentu pikiran berada pada satu kegiatan khusus dan
pada saat lain terkadang sebagai bagian dari satu aspek dari kegiatan tertentu
lain. Menurut Wolff, kecakapan dasar yang umum adalah pengetahuan, perasaan,
ingatan, dan akal budi inti. Sedangkan kecakapan akal budi meliputi kemampuan
menggambarkan perbedaan-perbedaan dan menafsirkan atau menilai bentuk.
Kecakapan kemauan dipercaya sebagai hasil perkembangan ide atau gagasan pikiran
bahwa sifat manusia bisa dijelaskan melalui melihat dari segi prinsip
ketidakbaikan.
Sebenarnya disiplin mental telah ada sejak jaman kuno, dan
pengaruhnya masih tampak dalam kegiatan komunikasi praktis, seperti di
lingkungan pendidikan atau sekolahan, di lembaga lembaga non pendidikan, dan
bahkan di organisasi-organisasi kemasyarakatan sampai sekarang. Manusia
mempunyai kelebihan dengan adanya kemampuan berpikir dan berakal budi, hal ini
yang menyebabkan perkembangan yang berbeda. Sejak dahulu, semua binatang hanya
mengandalkan instinknya saja dalam bergerak. Mereka tidak pernah ingin merubah
kondisi kehidupannya untuk ditingkatkan sesuai dengan tuntutan jaman. Sedangkan
pada manusia, karena mempunyai nafsu dan kemauan yang dibarengi dengan
kemampuan akalnya, maka dunia dikuasainya untuk dibentuk sesuai dengan
seleranya.
Semua perubahan-perubahan itu terjadi karena manusia selalu
mengalami belajar, mengalami perubahan perilaku ke arah yang lebih berkualitas
dalam rangka meningkatkan kemampuannya terutama kemampuan akal dan budinya.
Kita bisa mengembangkan konsep ini secara aplikatif. Disiplin mental yang
sebenarnya disebut juga dengan disiplin formal yang selalu tampak dalam hampir
semua aspek pembelajaran manusia. Artinya, ketika manusia melakukan belajar, ia
selalu mengalami pelatihan secara displin, baik internal maupun eksternal.
Contohnya, olahragawan
terkemuka biasanya hasil latihan yang disiplin ilmuwan terkemuka juga merupakan hasil kerja keras
belajar secara disiplin. Tidak ada orang yang tiba-tiba menjadi ahli dalam
bidang tertentu.
B.
Penerapan Teori
Belajar Disiplin Mental dalam Pembelajaran
Teori belajar disiplin mental menjadi dasar untuk disusunnya
strategi dan model pembelajaran untuk diterapkan bagi siswa. Model pembelajaran
yang dimaksud adalah suatu perencanaan atau suatu pola yang menggunakan
pembelajaran
di kelas atau pembelajaran dalam tutorial serta untuk menentukan
perangkat-perangkat pembelajaran.
Dalam kalangan anak-anak, baik di lingkungan keluarga ataupun di
sekolah, hampir semua aspek pembelajaran bisa dilakukan dengan cara disiplin,
seperti pembiasaan secara tetap akan suatu pekerjaan, latihan tetap terhadap
suatu keterampilan, disiplin diri dalam bertindak, displin mengendalikan diri,
bekerja keras dengan disiplin tetap, serta adanya arahan-arahan motivasi dari
pihak lain. Semua itu jika dilakukan akan menghasilkan manusia yang memiliki
kemampuan unggul di bidang yang dikerjakannya atau dilatihnya secara disiplin
tadi. Pada
asalnya disiplin dilakukan oleh adanya aturan-aturan eksternal, namun secara
tidak langsung jika hal itu dilakukan secara terus menerus dalam waktu yang
lama akan menghasilkan perilaku disiplin internal.
Suatu pekerjaan jika dikerjakan secara terus menerus dengan
frekuensi yang relatif tetap akan menjadikannya seseorang menjadi terbiasa
dengan pekerjaannya itu. Disiplin juga tidak hanya untuk hal-hal yang
bersifat praktis, namun juga dapat bersifat mental. Sebagai contohnya, dengan
telah melakukan ‘hafalan’ secara disiplin terhadap perkalian angka 1 x 1 sampai
dengan perkalian 10 x 10, maka kita sekarang tidak perlu berpikir lagi jika
ditanya 6 x 7, 8 x 9, atau 7 x 7. Kita bisa langsung menjawab hasilnya dengan
benar. Itu semua akibat dari hasil belajar melalui pola disiplin mental ketika
kita di SD dulu. Disiplin mental dikenal juga dengan disiplin formal.
Teori belajar disiplin mental relevan apabila diterapkan dalam sistem
pembelajaran, karena kriteria belajar bagi siswa adalah adanya perubahan
perilaku pada diri individu, perubahan perilaku yang terjadi hasil dari
pengalaman, dan perubahan tersebut relatif menetap. Berdasarkan kriteria
tersebut tentu saja teori belajar disiplin mental dapat diterapkan sebagai
media untuk menambah pengetahuan untuk perubahan perilaku individu secara
menetap dan berdasarkan hasil pengalaman dalam proses belajar mengajar.
Penerapan secara nyata dalam proses belajar mengajar yang
berhubungan dengan disiplin mental dalam setiap mata pelajaran di SD sebagai
berikut:
1.
Pembelajaran Sejarah
Guru dapat menggunakan gambar dan media
lain dengan memberikan materi tentang dasar-dasar ilmu sejarah, fakta,
peristiwa dan proses sejarah. Siswa diakhir pembelajaran diminta untuk
menerangkan kembali tentang pembelajan tersebut agar lebih memperdalam materi
pembelajaran bagi siswa lainnya.
2.
Pembelajaran Geografi
Guru dapat menggunakan peta dan diskusi
tentang materi sistem informasi geografi, interaksi gejala fisik dan sosial,
struktur internal suatu tempat, interaksi keruangan, persepsi lingkungan, dan kewilayahan. Guru dapat memberikan tugas dengan mempelajari
materi lain untuk memperdalam materi.
3.
Pembelajaran PKn
Guru dapat menggunakan strategi belajar
kelompok, untuk membahas tentang persatuan bangsa, nilai dan norma, hak asasi
manusia,
kebutuhan hidup, kekuasaan dan politik, masyarakat demokratis, Pancasila dan konstitusi negara serta
globalisasi. Guru kemudian dapat bertanya jawab kepada siswa untuk memperdalam materi.
Teori belajar disiplin mental juga dapat dilaksanakan dengan menggunakan
pembelajaran dengan strategi ekspositori. Model pengajaran ekspositori merupakan kegiatan yang terpusat
pada guru. Guru aktif memberikan penjelasan atau informasi terperinci tentang bahan
pengajaran. Tujuan utama pengajaran ekspositori adalah memindahkan pengetahuan,
keterampilan, dan nilai-nilai kepada
siswa. Hal yang esensial pada bahan pengajaran harus dijelaskan kepada siswa.
Guru juga dapat menggunakan strategi evaluasi dengan sistem
menanyakan terus menerus pembelajaran yang dikuasai siswa secara lisan,
sehingga guru dapat mengukur seberapa jauh siswa menguasai pembelajaran yang
diberikan. Aplikasi pembelajaran dengan teori belajar disiplin mental memang mengedepankan aspek
penguasaan materi dan keterampilan berdasarkan pada pengasahan otak dan penambahan
materi pembelajaran kepada siswa.
Teori belajar disiplin mental dalam pembelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial
sesungguhnya banyak sekali sistem penerapannya. Fokus dari disiplin mental
adalah memberikan peningkatan pengetahuan setiap waktu agar semakin lama siswa
semakin memahami tentang materi pembelajaran. Peningkatan pengetahuan yang
dilaksanakan secara bertahap penting dilaksanakan dalam teori belajar disiplin mental. Tambahan pemahaman dan
materi tersebut merupakan indikasi keberhasilan dari teori belajar disiplin mental.
C.
Implementasi Teori Belajar Disiplin Mental
Teori belajar disiplin mental apabila diimplementasikan dampak positifnya
menjadikan siswa semakin hari semakin meningkat kemampuannya dalam menguasai
materi dan keterampilan. Siswa menjadi disiplin untuk mempelajari materi
pembelajaran setahap demi setahap, dan semakin lama akan semakin banyak. Dampak negatif
dari penerapan disiplin mental apabila dilaksanakan secara dominan dan tidak
memperhatikan faktor-faktor psikologi akan menjadi siswa menjadi tegang dan
proses belajar mengajar tidak bervariatif. Segi kognitif siswa yang
kadang-kadang tidak cocok dengan metode pembelajaran berbasis disiplin mental
menjadi terbebani dengan pembelajaran tersebut.
Guru dapat mengembangkan potensi siswa yaitu dengan cara :
1.
Guru harus
kreatif (potensi siswa diasah dan dilatih), hal ini ada dalam teori daya (teori
yang masih serumpun dengan teori belajar disiplin mental).
2.
Yakin
bahwa semua individu memiliki potensi, bakat, dan lain-lain (teori netivisme).
3.
Jika
guru tidak mampu mengembangkan potensi siswa yang khusus, maka guru harus
mendekati potensi siswa yang umum.
Contohnya, guru harus memberikan rasa aman kepada siswanya, dalam artian guru tidak boleh mempermalukan siswanya di depan kelak.
Contohnya, guru harus memberikan rasa aman kepada siswanya, dalam artian guru tidak boleh mempermalukan siswanya di depan kelak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar